MAKALAH
DIABETES MELLITUS
DISUSUN OLEH
Anies Rina Yuliastuti
Juffi Anryani
Muhammad Imam Nawawi
Zulia Hemi Syarifa
Talout
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DIABETES MELITUS
I.
PENDAHULUAN
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.Gejala DM biasanya berupa poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset
atau mulai terjadinya adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga
morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi
(Soegondo, et al., 2005).
Diabetes mellitus jika tidak dikelola dengan baikdapat
mengakibatkan terjadinya berbagai penyakit menahun, seperti penyakit
serebrovaskular, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah tungkai,
penyakit pada mata, ginjal, dan syaraf. Jika kadar glukosa darah dapat selalu
dikendalikan dengan baik, diharapkan semua penyakit menahun tersebut dapat
dicegah, atau setidaknya dihambat. Berbagai faktor genetik, lingkungan dan cara
hidup berperan dalam perjalanan penyakit diabetes (Soegondo, et al.,
2005).
Berbagai
penelitian menunjukan bahwa kepatuhan pada pengobatan penyakit yang bersifat
kronis baik dari segi medis maupun nutrisipada umumnya rendah. Penelitian
terhadap penyandang diabetes sekitar
75 % diantaranya
menyuntik insulin dengan cara yang tidak tepat, 58 % memakai dosis yang
salah, dan 80 % tidak mengikuti diet yangdianjurkan(Endang Basuki dalam
Sidartawan Soegondo, dkk 2004).
Apoteker,
terutama bagi yang bekerja di sektor kefarmasian komunitas, memiliki peran yang
sangat penting dalam keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Mendampingi,
memberikan konseling dan bekerja sama erat dengan penderita dalam
penatalaksanaan diabetes sehari-hari khususnya dalam terapi obat merupakan
salah satu tugas profesi kefarmasian. Membantu penderita menyesuaikan pola diet
sesuai yang
disarankan ahli gizi, mencegah dan mengendalikan komplikasi yang mungkin
timbul, mencegah dan mengendalikan efek samping obat, memberikan rekomendasi
penyesuaiandosis obat yang harus dikonsumsi penderita bersama-sama dengan
dokter yang merawat penderita, yang kemungkinan dapat berubah dari waktu ke
waktu sesuai dengan kondisi penderitamerupakan peran yang sangat sesuai dengan
kompetensi dan tugas seorang apoteker. Demikian pula apoteker dapat juga
memberikan tambahanpengetahuan kepada penderita tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan kondisi dan pengelolaan diabetes, mulai dari pengetahuan
tentang etiologi dan patofisiologi diabetes sampai dengan farmakoterapi serta pencegahan komplikasi yang dapat
terjadi dari penyakit diabetes.Pentingnya peran apoteker dalam keberhasilan
penatalaksanaan diabetes
ini menjadi lebih bermakna karena penderita diabetes umumnya merupakan
pelanggan tetap apotik, sehingga frekuensi pertemuan penderita diabetes dengan
apoteker di apotik mungkin lebih tinggi daripada frekuensi pertemuannya dengan
dokter.Peluang ini seharusnya dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam rangka
memberikan pelayanan kefarmasian yang profesional.
II.
ETIOLOGI
dan PATOFISIOLOGI
Diabetes merupakan suatu
penyakit dimana metabolisme glukosa tidak normal, suatu resiko komplikasi
spesifik perkembangan mikrovaskular dan ditandai dengan adanya peningkatan
komplikasi perkembangan makrovaskuler.
Pada beberapa
populasi, definisi diabetes terhadap distribusi glukosa adalah pendistribusian
glukosa ke seluruh jaringan berbeda pada setiap individual dengan atau tanpa
diabetes. Selain itu distribusi glukosa juga dapat menjadi parameter untuk
penyakit diabetes atau dengan kata lain, nilai defenisi diagnosis untuk diabetes
didasarkan pada nilai distribusi glukosa pada tingkat populasi bukan sering
atau tidaknya berolahraga.
Tabel 1.Kriteria
penegakan diagnosis
|
Glukosa
Plasma
Puasa
|
Glukosa
Plasma
2 jam
setelah makan
|
Normal
|
<100 mg/dL
|
<140 mg/dL
|
Pra-diabetes
IFG atau IGT
|
100 – 125 mg/dL
––
|
––
140 – 199 mg/dL
|
Diabetes
|
>126 mg/dL
|
>200 mg/dL
|
A.
Klasifikasi
1.
Diabetes Mellitus tipe 1
DM tipe 1 atau dikenal sebagai Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau juvenile diabetes mellitusadalah di mana tubuh
kekurangan hormon insulin. Diabetes
tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan
kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.Gangguan
produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β
pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun.Namun ada pula yang
disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella,
CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang
dihubungkan dengan DM Tipe1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic
Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD
(glutamic acid decarboxylase).
ICCA merupakan otoantibodi utama yang
ditemukan pada penderita DM Tipe 1.Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA
di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%.
Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM
Tipe 1.ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga
dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans.
Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans
kelenjar pancreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel δ.
Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan
sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan
otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang
menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru
merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih
merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β pulau
Langerhans titer
ICCA makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit.
Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel
atau Islet Cell Surface Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita
DM Tipe 1.Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan
lamanya waktu.Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA.
Otoantibodi terhadap enzim glutamat
dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien yang baru didiagnosis
sebagai positif menderita DM Tipe 1.Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer
antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan
penyakit.Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe 1,
terutama pada populasi risiko tinggi.
Disamping ketiga otoantibodi yang sudah
dijelaskan di atas, ada beberapa otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan,
antara lain IAA (Anti- Insulin Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40%
anak-anak yang menderita DM Tipe 1.IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah
pasien sebelum onset terapi insulin.
Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau
Langerhans kelenjar pancreas langsung mengakibatkan defisiensi sekresi
insulin.Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang
menyertai DM Tipe 1.Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar
pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal.Pada penderita DM
Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel αpulau
Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon,
namun pada penderita DM tipe
1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan
hiperglikemia, hal ini
memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini
adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalamiketoasidosis diabetik apabila
tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk
menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar
gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe
1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon
terhadap hipoglikemia.Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang
dapatberakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi
insulin.
Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan
masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan
baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi
insulin yang diberikan.Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan
hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan
meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang
tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan
menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di
jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa
oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen
yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya
gen glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu
transpor glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adiposa.
2.
Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang
lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita
DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya
berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di
kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat.
Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang
belum sepenuhnya terungkap dengan jelas.Faktor genetik dan pengaruh lingkungan
cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet
tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan.
Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu
faktor pradisposisi utama.Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan
bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas
dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2.
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM
Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah
insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi.
Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi
insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon
insulin secara normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”.
Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika
Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak
(sedentary), dan penuaan.
Disamping resistensi insulin, pada penderita
DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa
hepatik yang berlebihan.Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β
Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1.Dengan
demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat
relatif, tidak absolut.Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak
memerlukan terapi pemberian insulin.
Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin
dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus
atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah,
sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal
perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin
fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin
Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya
penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi
secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin,
sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir
menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor
tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.
3.
Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes
Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah
keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan,
dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita
hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah
trimester kedua.
Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun
umumnyadapat pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat
berakibat buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi
antara lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir
dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah
menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes
di masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko
tersebut.
4.
Pra-diabetes
Pra-diabetes
adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal
dan diabetes, lebih tinggi dari pada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk
dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2. Penderita pradiabetes diperkirakan
cukup banyak, di Amerika diperkirakan ada sekitar 41 juta orang yang tergolong
pra-diabetes, disamping 18,2 orang penderita diabetes (perkiraan untuk tahun
2000). Di Indonesia, angkanya belum pernah dilaporkan, namun diperkirakan cukup
tinggi, jauh lebih tinggi dari pada penderita diabetes.
Kondisi pra-diabetes merupakan faktor risiko
untuk diabetes, serangan jantung dan stroke.Apabila tidak dikontrol dengan
baik, kondisi pra-diabetes dapat meningkat menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun
waktu 5-10 tahun.Namun pengaturan diet dan olahraga yang baik dapat mencegah
atau menunda timbulnya diabetes.Ada dua tipe kondisi pra-diabetes, yaitu:
Impaired
Fasting Glucose (IFG), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah puasa
seseorang sekitar 100-125 mg/dl (kadar glukosa darah puasa normal: <100
mg/dl), atauImpaired Glucose Tolerance (IGT) atau
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah seseorang pada uji
toleransi glukosa berada di atas normal tetapi tidak cukup tinggi untuk
dikatagorikan ke dalam kondisi diabetes. Diagnosa IGT ditetapkan apabila kadar glukosa darah
seseorang 2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram glukosaper oral berada diantara
140-199 mg/dl.
III.
KOMPLIKASI
PENYAKIT
Diabetes
yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut dan
kronis.Berikut beberapa komplikasi yang sering terjadi dan harus diwaspadai pada penderita diabetes.
A.
HIPOGLIKEMIA
Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala
klinis penderita merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang,
pitam (pandangan menjadi gelap), keluar keringat dingin, detak jantung
meningkat, sampai hilang kesadaran.Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi
kerusakan otak dan akhirnya kematian.
Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma
penderita kurang dari 50 mg/dL,
walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejalahipoglikemia
pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa darahyang terlalu rendah
menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak dapat
berfungsi bahkan dapat rusak.Serangan hipoglikemia pada penderita diabetes
umumnya terjadi apabilapenderita:
1.
Lupa
atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam)
2.
Makan
terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter atau ahli gizi.
3.
Berolahraga
terlalu berat.
4.
Mengkonsumsi
obat antidiabetes dalam dosis lebih besar dari pada seharusnya
5.
Minum alkohol.
6.
Stress.
7.
Mengkonsumsi
obat-obatan lain yang dapat meningkatkan resiko hipoglikemia.
B.
HIPERGLIKEMIA
Hiperglikemia
adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara tiba-tiba. Keadaan ini
dapat disebabkan antara lain oleh stress, infeksi, dan konsumsi obat-obatan
tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia,
kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur.Apabila diketahui
dengan cepat, hiperglikemia dapat dicegah.Hipergikemia
dapat memperburuk gangguan-gangguan kesehatan seperti gastroparesis, disfungsi
ereksi, dan infeksi jamur pada vagina. Hiperglikemia yang berlangsung lama
dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain
ketoasidosis diabetik (Diabetic Ketoacidosis = DKA) dan (HHS), yang
keduanya dapat berakibat fatal dan membawa kematian. Hiperglikemia dapat
dicegah dengan kontrol kadar gula darah yang ketat.
C.
KOMPLIKASI MAKROVASKULAR
Tiga jenis
komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderitadiabetes adalah
penyakit jantung koroner (coronary heart disease = CAD),penyakit pembuluh darah
otak, dan penyakit pembuluh darah perifer(peripheral vascular disease = PVD).
Walaupun komplikasi makrovaskulardapat juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang
lebih sering merasakankomplikasi makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2
yang umumnyamenderita hipertensi, dislipidemia dan atau kegemukan. Kombinasi
daripenyakit-penyakit komplikasi makrovaskular dikenal dengan berbagai
nama,antara lain Syndrome X, Cardiac Dysmetabolic Syndrome,
HyperinsulinemicSyndrome, atau Insulin Resistance Syndrome.
Karena penyakit-penyakit jantung sangat besar
risikonya pada penderitadiabetes, maka pencegahan komplikasi terhadap jantungsangat
penting dilakukan, termasuk pengendalian tekanan darah, kadarkolesterol dan
lipid darah. Penderita diabetes sebaiknya selalu menjaga tekanan darahnya tidak
lebih dari 130/80 mm Hg. Untuk itu penderita harusmengatur gaya hidupnya,
termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang, berolahraga
secara teratur, tidak merokok, mengurangi stress dan lain sebagainya.
D.
KOMPLIKASI MIKROVASKULAR
Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada
penderita diabetes tipe 1.Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein
yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi
makin lemah dan rapuh dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah
kecil.Hal inilah yang mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler,
antara lain retinopati,nefropati,dan
neuropati.Disamping karena
kondisi hiperglikemia, ketiga komplikasi ini juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Oleh sebab itu dapat terjadi dua
orang yang memiliki kondisi hiperglikemia yang sama, berbeda risiko komplikasi
mikrovaskularnya. Namun demikian prediktor terkuat untuk perkembangan
komplikasi mikrovaskular tetap lama (durasi) dan tingkat keparahan diabetes.
Satu-satunya cara yang signifikan untuk
mencegah atau memperlambat jalan perkembangan komplikasi mikrovaskular adalah
dengan pengendalian kadar gula darah yang ketat. Pengendalian intensif dengan
menggunakan suntikan insulin multi-dosis atau dengan pompa insulin yang
disertai dengan monitoring kadar gula darah mandiri dapat menurunkan risiko
timbulnya komplikasi mikrovaskular sampai 60%.
Keterangan :
1.
Makanan
masuk ke mulut kemudian menuju kerongkongan lalu menuju ke lambung .
2.
Makanan
dilambung di pecah menjadi gula salah satunya glukosa yang merupakan bahan
bakar utama tubuh.
3.
Glukosa
menuju ke aliran darah, kadar glukosa dalam darah meningkat .
4.
Jika
tubuh merasakan adanya kenaikan glukosa dalam darah maka pesan akan di kirim ke
pancreas.
5.
Pancreas
akan memproduksi insulin .
6.
Insulin
akan menurunkan kadar glukosa dalam darah dengan cara membuka kunci pintu sel
sehingga glukosa akan
masuk ke dalam sel.
7.
Kadar
glukosa darah akan turun karena masuk ke dalam sel .
8.
Jika
insulin kurang atau tidak ada akibat rusaknya sel – sel pancreas secara
imunologi atau sel mengabaikan insulin ( reseptor insulin tidak dapat merespon
insulin à resistensi insulin ). Maka sel tidak dapat
memakai glukosa / glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga tubuh
kekurangan energy dan kadar glukosa darah meningkat.
9.
Ketika
kadar glukosa darah meningkat ginjal tidak mampu menyerap semua glukosa yang
tersaring ke luar akibatnya akan diekresikan ke urine dan inilah yang disebut
DM.
Faktor risiko diabetes
Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk
intoleransiglukosa yaitu :
1.
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :
a.
Ras dan etnik
b.
Riwayat keluarga dengan diabetes (anak
penyandang diabetes)
c.
Umur. Risiko untuk menderita intoleransi
glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus
dilakukan pemeriksaan DM.
d.
Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi
> 4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG).
e.
Riwayat lahir dengan berat badan rendah,
kurang dari 2,5 kg.
f.
Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai
risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal.
2.
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :
a.
Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).
b.
Kurangnya aktivitas fisik.
c.
Hipertensi (> 140/90 mmHg).
d.
Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau
trigliserida > 250 mg/dL)
e.
Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi
gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes dan DM
tipe-2.
Pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau
kadar glukosa darah puasa. The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter yang dapat
digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes
Tabel
2.Target Penatalaksanaan Diabetes
Parameter
|
Kadar Ideal Yang Diharapkan
|
Kadar
Glukosa Darah Puasa
|
80–120mg/dl
|
Kadar
Glukosa Plasma Puasa
|
90–130mg/dl
|
Kadar Glukosa Darah Saat Tidur
(Bedtime
blood glucose)
|
100–140mg/dl
|
Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur
(Bedtime plasma glucose)
|
110–150mg/dl
|
Kadar Insulin
|
<7
%
|
Kadar HbA1c
|
<7mg/dl
|
IV. PENATALAKSANAAN
TERAPI DIABETES
Penatalaksanaan
diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM,
yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu:
1.
Menjaga
agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal
2.
Mencegah
atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.
Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam
penatalaksanaan diabetes, yang pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua
adalah pendekatan dengan obat.
A. TERAPI
TANPA OBAT
1. Pengaturan
Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan
penatalaksanaan diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi
yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan
gizi baik sebagai berikut:
a.
Karbohidrat
: 60-70%
b.
Protein
: 10-15%
c.
Lemak :
20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan,
status gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan
untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal.
2. Olahraga
Berolahraga
secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar guladarah tetap normal.Prinsipnya,
tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur
akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
B. TERAPI
OBAT
Apabila
penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olahraga) belum berhasil
mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan langkah
berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam bentuk terapi obat
hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya.
1.
Terapi Insulin
Terapi
insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada DM Tipe I,
sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi
dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderitaDM Tipe I harus
mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan
normal. Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi
insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi
hipoglikemik oral.
a.
Mekanisme Kerja Insulin
Insulin mempunyai peran yang sangat penting
dan luas dalam pengendalian metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel-sel
β pancreas akan langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang
kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah.
Efek kerja insuliadalah membantu transport
glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah
tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan
meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga
tidak dapat memproduksi energi sebagaimana seharusnya.
Disamping fungsinya membantu transport glukosa
masuk ke dalam sel, insulin mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap
metabolisme, baik metabolisme karbohidrat dan lipid, maupun metabolisme protein
dan mineralinsulin akan meningkatkan lipogenesis, menekan lipolisis, serta
meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga mempunyai
peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya,
gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan pengaruh negative dan komplikasi yang
sangat luas pada berbagai organ dan jaringan tubuh.
Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan
insulin yang tersedia, yang terutama berbeda dalam hal mula kerja (onset) dan
masa kerjanya (duration). Sediaan insulin untuk terapi dapat digolongkan
menjadi 4 kelompok, yaitu:
Tabel 3.Penggolongan
sediaan insulin berdasarkan mula dan masa kerja
Jenis
Sediaan Insulin
|
Mula
kerja
(jam)
|
Puncak
(jam)
|
Masa
kerja
(jam)
|
Masa kerja Singkat(Shortacting/
Insulin), disebut juga insulin
Regular
|
0,5
|
1-4
|
6-8
|
Masa kerja Sedang
|
1-2
|
6-12
|
18-24
|
Masa kerja Sedang, Mula kerja cepat
|
0,5
|
4-15
|
18-24
|
Masa kerja panjang
|
4-6
|
14-20
|
24-36
|
Respon individual terhadap terapi insulin
cukup beragam, oleh sebab itu jenis sediaan insulinyang diberikan kepada
seorang penderita dan berapa frekuensi penyuntikannya ditentukan secara
individual, bahkan seringkali memerlukan penyesuaian dosis terlebih
dahulu.Umumnya, pada tahap awal diberikan sediaan insulin dengan kerja sedang,
kemudian ditambahkan insulin dengan kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia
setelah makan.Insulin kerja singkat diberikan sebelum makan, sedangkan Insulin
kerja sedang umumnya diberikan satu atau dua kali sehari dalam bentuk suntikan
subkutan.Namun, karena tidak mudah bagi penderita untuk mencampurnya sendiri,
maka tersedia sediaan campuran tetap dari kedua jenis insulin regular (R) dan
insulin kerja sedang (NPH).
b.
Cara Pemberian
penyuntikan dilakukan subkutan (di bawah
kulit). Lokasi penyuntikan yang disarankan ditunjukan pada gambar 4 disamping
ini.
|
|
bokong. Bila disuntikkan secara intramuskular dalam, maka penyarapan akan terjadi
lebih cepat, dan masa kerjanya menjadi lebih singkat. Kegiatan fisik yang dilakukan segera setelah penyuntikan akan
mempercepat waktu mula kerja (onset) dan juga mempersingkat masa kerja. Selain
dalam bentuk obat suntik, saat ini juga tersedia insulin dalam bentuk pompa
(insulin pump) atau jet injector, sebuah alat yang akan menyemprotkan
larutan insulin ke dalam kulit. Dibawah inibeberapa produk obat suntik insulin
yang beredardi Indonesia (IONI, 2000 dan Soegondo, 1995)
Tabel 4.
Profil beberapa sediaan insulin yang beredar di Indonesia
Nama
Sediaan
|
Golongan
|
Mula
kerja
(jam)
|
Puncak
(jam)
|
Masa
kerja
(jam)
|
Sediaan*
|
Actrapid HM
|
Masa kerja
Singkat
|
0,5
|
1-3
|
8
|
40 UI/ml
|
Actrapid HM
Penfill
|
Masa kerja
Singkat
|
0,5
|
2-4
|
6-8
|
100 UI/ml
|
Insulatard HM
|
Masa kerja
Sedang, Mula
kerja cepat
|
0,5
|
4-12
|
24
|
40 UI/ml
|
Insulatard HMPenfill
|
Masa kerja
Sedang, Mula
kerja cepat
|
0,5
|
4-12
|
24
|
100 UI/ml
|
Monotard HM
|
Masa kerja
Sedang, Mula
kerja cepat
|
2,5
|
7-15
|
24
|
40 UI/ml
dan 100
UI/ml
|
Humulin 20/80
|
Sediaan Campuran
|
0,5
|
1,5-8
|
14-16
|
40 UI/ml
|
Humulin30/70
|
Sediaan
Campuran
|
0,5
|
1-8
|
14-15
|
100 UI/ml
|
Humulin40/60
|
Sediaan
Campuran
|
0,5
|
1-8
|
14-15
|
40
I/ml
|
c.
Penyimpanan Sediaan Insulin (Soegondo,
1995b)
Ø Insulin harus disimpan di lemari es pada
temperatur 2-8 ºC. Insulin yang sudah dipakai dapat disimpan selama 90 hari - 6
bulan tergantung insulinnya atau sampai 200 suntikan bila dimasukkan dalam
lemari es.
Ø Insulin dapat disimpan
pada suhu kamar dengan penyejuk 15-20 ºC bila seluruh isi vial akan digunakan dalam satu bulan.
Ø Penfill dan pen yang disposable berbeda masa
simpannya. Penfill regular dapat disimpan pada temperatur kamar selama 30 hari
sesudah tutupnya ditusuk. Penfill 30/70 dan NPH dapat disimpan pada temperatur
kamar selama 7 hari sesudah tutupnya ditusuk.
Ø Untuk mengurangi terjadinya iritasi lokal pada
daerah penyuntikan yang sering terjadi bila insulin dingin disuntikkan,
dianjurkan untuk mengguling-gulingkan alat suntik di antara telapak tangan atau
menempatkan botol insulin pada suhu kamar, sebelum disuntikkan.
2.
TERAPI OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan
untuk membantu penanganan pasien DM Tipe II.Pemilihan obat hipoglikemik oral
yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes.Bergantung pada
tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral
dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis
obat.Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan harus
mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi
kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi
yang ada.
a.
Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat
hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
Ø Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin,
meliputi obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida
dan turunan fenilalanin).
Ø Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat
meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin), meliputi obat-obat
hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion, yang dapat
membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif.
Ø Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain
inhibitor α-glukosidase yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan
umum digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal
hyperglycemia). Disebut juga “starch-blocker”.
Tabel 5.Penggolongan
obat hipoglikemik oral
Golongan
|
Contoh
Senyawa
|
Mekanisme
Kerja
|
Sulfonilurea
|
Gliburida/Glibenklamida
Glipizida
Glikazida
Glimepirida
Glikuidon
|
Merangsang sekresi insulin di kelenjar
pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel β pankreasnya
masih berfungsi dengan baik
|
Meglitinida
|
Repaglinide
|
Merangsang sekresi insulin di kelenjar
pancreas
|
Turunan
Fenilalanin
|
Nateglinide
|
Meningkatkan kecepatan sintesis
insulin oleh pancreas
|
Biguanida
|
Metformin
|
Bekerja langsung pada hati (hepar),
menurunkan produksi glukosa hati. Tidak merangsang sekresi insulin oleh
kelenjar pankreas.
|
Tiazolidindion
|
Rosiglitazone
Troglitazone
Pioglitazone
|
Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap
insulin. Berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferator activated receptor-gamma)
di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin
|
Inhibitor α-
Glukosidase
|
Acarbose
Miglitol
|
Menghambat kerja enzim-enzim pencenaan yang
mencerna karbohidrat,sehingga memperlambat absorpsi glukosa ke dalam darah.
|
b.
Hal-hal yang Harus Diperhatikan Dalam
Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral
Ø Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah
yang kemudian dinaikkan secara bertahap.
Ø Harus diketahui betul bagaimana cara kerja,
lama kerja dan efek samping obat-obat tersebut.
Ø Bila diberikan bersama obat lain perlu diperhatikan kemungkinan adanya interaksi obat.
Ø Pada kegagalan sekunder terhadap obat
hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain dan apabila gagal lagibaru pertimbangkan untuk
beralih pada insulin.
Ø Hipoglikemia harus dihindari terutama pada
penderita lanjut usia, oleh sebab itu sebaiknya obat hipoglikemik oral yang
bekerja jangka panjang tidak diberikan pada penderita lanjut usia.
Ø Usahakan agar harga obat terjangkau oleh
penderita.
V.
MAKANAN YANG DIANJURKAN
Beberapa makanan yang
dianjurkan pada penderita diabetes melitus antara lain:
a.
Karbohidrat
serat seperti beras merah, serta sayuran segar
b.
Daging
atau protein yang rendah lemak
c.
Buah-buahan
segar
d.
Tambahkan
bawang merah dan buncis pada diet anda (dapat menurunkan kadar lemak dan gula
dalam darah)
Makanan yang perlu
dihindari pada penderita diabetes melitus antara lain:
a.
Makanan
dengan kadar gula tinggi
b.
Makanan
dengan kadar sodium tinggi (asin)
c.
Makanan-makanan
kaleng
d.
Makanan
berlemak.
VI.
MONITORING
Untuk mengukur
efektivitas terapi, hal-hal yang harus dimonitor antara lain :
a.
Tekanan darah.
b.
Kadar gula darah.
c.
Interaksi obat dan efek samping dari obat.
d.
Kepatuhan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Institute for Clinical Systems Improvement. 2009. Diagnosis and
Management of Type 2 Diabetes Mellitus in Adults. Thirteenth Edition.
Departemen
Kesehatan RI, 2005. Pharmaceutikal Care
Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
ISFI, 2008.ISO Farmakoterapi.Jakarta:
PT ISFI Penerbitan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar